Selasa, 07 Juli 2020

Opsi Maintenance Printer Epson Tidak Muncul

Assalamua’alaikum Wr. Wb.
Hai semua… Aku balik lagi setelah beberapa bulan hiatus. Kali ini aku mau berbagi pengalaman tentang salah satu masalah mengenai printer.

Printerku kali ini Epson L120 dan software laptop aku Windows 8 dan WPS/Kingsoft.
Dari semester lalu, hasil printku emang garis-garis dan putus-putus gitu, trus aku coba googling harus di Cleaning.

Hasil printnya aneh, huhu T.T
Nah, jadi aku ikutin langkah-langkahnya kan, tapi anehnya di laptop aku ngg ada opsi Maintenance. Trus tadi malem juga hasil print ku itu cuman warna hijau kuning sama hitam, pas aku googling dan nanya sepupuku ternyata tinta merahnya bermasalah. Trus aku bongkar-bongkar printerku, kubersihin dan kusedot pake suntikan cardridgenya ternyata ngg ngaruh :(

Trus akhirnya hidayah datang, ternyata opsi Maintenance ngg muncul di laptop itu karena sebelumnya printer itu ngg di instal secara manual.

Nah, jadi aku instal pake CD bawaan printernya dan alhamdulillah bisa. Atau kalau misal CD bawannya udah hilang atau ngg ada bisa instal di web resmi Epson.

Kali ini aku juga bakalan cantumin langkah-langkah buat Cleaning printer Epson L120 di Windows 8
1. Tekan Windows+X, klik Control Panel
2. Pilih “Hardware and Sound”
3. Pilih “Devices and Printers”
4. Klik kanan printer yang udah terkoneksi, trus pilih “Printing Preferences” 


5. Klik "Maintenance"
6. Klik ikon “Head Cleaning”, trus klik “Clean”


7. Kalau printernya udah kelar bersihin, pokoknya udah ngg bunyi-bunyi lagi atau pas lampunya udah kedip, lanjut klik ikon “Nozzle Check”. Tapi harus dipastiin udah masukin kertas hvs di printernya.



8. Kalau dirasa hasil printnya kurang ok, bisa diulang lagi buat Cleaning, tapi kalau dirasa udah ok ya alhamdulillah :)

Itu dia problem solving aku selama berbulan-bulan ngadepin printer ini dan bisa aja masing-masing laptop atau PC beda penanganannya, semoga membantu dan kalau ada khiilaf aku mohon maaf. Terimakasih ^_^



Kamis, 12 Maret 2020

Waktu

Di suatu ruang saat aku duduk, kulihat seseorang berdiri membelakangiku. Postur belakang tubuhnya barangkali sudah tak asing bagiku. Kupandangi sosoknya, hingga dia berbalik badan menghadapku.

Ia mendekatiku, semakin lama semakin mendekat. Jantungku yang sedari tadi berdetak dengan anggun, sekarang iramanya sudah tak terkendali. Semakin ia mendekat, semakin aku menciut. Seakan memompa darah dengan cepat yang entah mengapa membuatku mulas.

Ia berjalan menghampiriku tanpa membawa satu barangpun. Ia berjalan dengan gagah sekaligus anggun di waktu bersamaan. Semakin ia melangkah maju, semakin aku melangkah mundur, namun sayang ada tembok kokoh di punggungku yang menahan langkahku.

Aku tak siap untuk menyapanya. Apa? Menyapa? Hah, sekadar mengetahui dia datang mendekatiku saja aku sudah bergidik. Mencoba memutar memori mencari tahu tentangnya pun hanya mengantarkanku kekecewaan.

Oh, tidak. Dia sudah didepanku. Jarakku dengannya hanya sebatas beberapa jengkal.
Kucoba melemparkan kursi ke kepalanya. “Brak!!” Ayunanku tepat mengenai pelipisnya. Darah bercucuran mengaliri wajahnya.

Ingin sekali aku lari darinya, namun ruangan ini menjadi lebih sempit dan tanpa pintu.

Dia bangkit dari jatuhnya, berdiri dengan sedikit oyong. Berjalan ke arahku hingga aku bisa menghirup aroma tubuhnya.

Dia berhasil menangkap kakiku, menyeretku ketempat yang lebih lega. Membantingku, memukulku. Aku mencoba berteriak meronta-ronta, namun sia-sia.

Aku remuk, aku gepeng, aku sudah tek berbentuk. Semua siksaannya membuatku merasakan penyesalan.

WNI Eks ISIS, Antara Hak Sebagai Warga Negara dan Hak Sebagai Manusia

Sebelum masuk ke pembahasan, aku mau ngasih tau kalau ini sekedar opiniku dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Dan juga, sebelum aku post di blog ini, aku udah post opini ini di Sketsaunmul.co



Dalih khawatir akan menyebarkan virus terorisme di Indonesia dan mengancam keamanan nasional, presiden Negara Republik Indonesia, Jokowi memutuskan untuk tidak memulangkan WNI eks anggota/simpatisan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) ke Indonesia. 

Penyebaran virus radikalisme ini merupakan masalah yang berbeda dengan penyebaran virus korona yang sedang mewabah akhir-akhir ini. Walaupun para ahli masih berusaha untuk menemukan vaksin pencegah penyebaran virus korona, namun wabah ini masih dapat di tangkal dengan budaya hidup dan lingkungan yang sehat. Berbeda halnya dengan penyebaran virus radikalisme yang tidak dapat ditangkal dengan hanya budaya hidup sehat, penyebaran virus ini dapat mewabah secara gerilya melalui berbagai cara yang selanjutnya akan bermuara pada ancaman keamanan nasional.

Polemik penolakan pemulangan WNI eks ISIS ini menuai daya tarik tersendiri, pasalnya persoalan mengenai hal ini merupakan masalah yang kompleks. Di satu sisi negara menjamin rasa aman bagi warga negaranya dengan menghindari masuknya virus radikalisme ke Indonesia, namun di sisi lain hal ini berbenturan dengan hak asasi manusia (HAM) dari mantan kombatan ISIS tersebut. Apakah keamanan nasional merupakan hal yang dapat membatasi atau mengurangi HAM seseorang?

Alasan pembatasan HAM diserahkan kepada negara masing-masing, namun harus tetap konsisten dengan hak-hak asasi lainnya serta tidak boleh menyalahi peraturan yang bersifat internasional. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights / ICCPR) mengatur bahwa tidak ada seorangpun dapat dirampas haknya secara sewenang-wenang untuk memasuki negaranya sendiri. Dari sini timbul pertanyaan, apakah para eks ISIS ini sudah hilang status ke-WNI-annya hingga hak untuk pulang ke Indonesia turut hilang?

Masalah yang akhir-akhir ini panas dibahas dalam media dan tidak kalah panas dari pembicaraan masalah banjir di Jakarta adalah mengenai status kewarganegaraan dari WNI eks ISIS. 

Viralnya pembakaran paspor oleh WNI kombatan ISIS tidak serta merta menghilangkan status kewarganegraan atau stateless secara yuridis. Indonesia adalah negara hukum, maka semua aspek yang ada di negeri ibu pertiwi ini diatur dalam hukum tak terkecuali mengenai kewarganegaraan.

Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan PP No. 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, dan Pembatalan Kewarganegaraan. Namun, jika ditilik dari pasal 23 huruf (d) mengenai kehilangan kewarganegaraan, frasa “masuk dalam dinas tentara asing” seakan menyentil alasan hilangnya kewarganegaraan WNI eks ISIS tersebut.

Topik selanjutnya yang penulis rasa sangat membutuhkan perhatian adalah mengenai nasib anak-anak eks ISIS. Di bawah naungan instrumen HAM internasional ICCPR maupun Konvensi Hak Anak (The United Nations Convention on the Rights of The Child/UNCRC), hak-hak anak sangat dilindungi tanpa mengecualikan anak-anak eks ISIS. 

Di samping itu, Indonesia sendiri memiliki payung hukum bagi perlindungan hak-hak anak yakni UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Di langsir dari laman KOMPAS.com, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menjadikan rencana pemulangan anak yatim piatu WNI eks ISIS sebagai kebijakan resmi dengan kualifikasi-kualifikasi tertentu, diantaranya seperti anak-anak usia dibawah 10 tahun dan anak-anak yang tidak terpapar virus terorisme. Mengenai anak-anak yang akan telah dipulangkan ternyata telah terpapar paham radikalisme, Mahfud MD menjawab bahwa pemerintah akan mengkajinya lebih dalam secara case by case.

Mengingat anak-anak memiliki masa depan yang panjang, secara pribadi penulis berpendapat bahwa setiap anak berhak untuk menikmati masa kecil dan mengisinya dengan pengetahuan sekaligus pengalaman serta berhak untuk berada di lingkungan yang baik yang nantinya akan mengantarkan mereka pada masa depan cemerlang. 

Namun, realita kerap kali menampar asa, di lain sisi pemikiran polos anak sangat mudah untuk diisi dan akan selalu melekat dalam ingatan mereka bahkan membentuk karakter mereka. Bagi anak-anak yang telah terjangkit virus terorisme, apakah dengan proses rehabilitasi, deradikalisasi, hingga mencekoki dengan ramuan berbau Pancasila akan menjamin mereka tidak akan menularkan virus tersebut?

Selama menulis opini ini, sempat tersirat dalam benak penulis bagaimana jika penulis berada dalam posisi korban yang notabenenya sama sekali tidak memiliki niat untuk bergabung dengan ISIS, namun karena terdesak dengan keadaan harus pergi ke Suriah dan dianggap sebagai kombatan ISIS. Rasa tidak adil dan tidak adanya jaminan keamanan serta dirampasnya hak-hak asasi sebagai manusia akan terus menyiksa. Ditambah dengan penolakan pemulangan ke tanah kelahiran. Adapun jika halnya diizinkan pulang, dapat dipastikan susah untuk kembali diterima masyarakat.

Melalui tulisan ini, penulis tidak bermaksud memengaruhi siapa untuk memihak siapa. Sebagai kaum terpelajar yang dielu-elukan sebagai agent of change, sudah seharusnya kita tidak menutup mata dengan hal-hal yang telah, sedang, dan yang akan terjadi. Penulis harap tulisan ini dapat membuka pintu kepekaan para pembaca untuk lebih peka dan lebih waspada dan bijaksana terhadap hal-hal disekitar dan situasi terkini. 

Kamis, 06 Februari 2020

Tentang WNI Ateis yang Tinggal di Indonesia

Assalamualaikum Wr. Wb.
Hai semua... Aku balik lagi dari hiatus bertahun-tahun. Bahasan kali ini agak sensitif, jadi mohon untuk mencernanya secara bijak dan terbuka ya. Btw disini aku ngg pake bahasa baku, jadi bagi yang mau copy paste tugas dari artikel ini mohon direnungkan kembali :)

Tiba-tiba aja aku keinget pertanyaan temen waktu semester satu pas kelompokku lagi presentasi. Dia nanya bagaimana kedudukan seorang WNI yang tidak beragama a.k.a ateis di Indonesia. Tapi karena cara pikir kami belum sampe kesitu yaudah jawabannya di skip, ehe.

Nah, pertanyaan ini dijawab satu tahun kemudian sama dosen konstitusi pas semester tiga. Awalnya beliau bikin pertanyaan tentang WNI yang tidak memeluk agama atau ateis, trus ada beberapa orang yang kami anggap paling pintar mengemukakan pendapat mereka. Akhirnya beliau jawab gini “Jika seorang warga negara menganut agama yang tidak diakui oleh negara tersebut, maka warga tersebut tidak berhak mendapat hak konstitusional karena warga itu tidak memenuhi kewajiban konstitusional negara tersebut”. “Jika seorang WNI merupakan ateis atau komunis, maka ia telah menyalahi sifat Terbuka Pancasila”.

Kebetulan waktu itu beliau lagi bawain kuliah materi fungsi konstitusi, trus nyentil kelakuan masyarakat yang tidak sesuai konstitusi atau yang beliau sebut inkonstitusional trus nyerempet dikit ke pembahasan warga Negara Indonesia yang tidak memeluk agama atau pengikut aliran komunis.

Sebelum ngetik ini, aku sempat nyari beberapa media berita yang membahas hal ini. Aku mulai berpikir gini, kalau kita berpatokan pada sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka sudah jelas ateis tidak termasuk dalam golongan ini, karena ateis berasal dari frasa a yang berarti tidak dan theis yang berarti Tuhan yang secara keseluruhan para penganut ateis ini tidak percaya akan keberadaan Tuhan.

Kembali lagi ke pembahasan dosen tadi (read: pemeluk ateisme di Indonesia tidak berhak mendapat hak konstitusional), menurtuku disini lebih ke urusan administratif orang tsb. Contohnya jika ingin membuat KTP, kan harus mencantumkan agama. Ya walaupun dalam praktiknya ada orang yang nyari aman trus cantumin memeluk suatu agama, tapi ada juga yang keukeuh cantumin ateis di KTP-nya.

Masalah lain yang timbul yaitu saat ingin menikah. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dinyatakan tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini juga merupakan suatu masalah bagi pasangan beda agama yang akan melangsungkan pernikahan di Indonesia. Di suatu kesempatan salah seorang dosen pernah cerita kalau pasangan WNI beda agama ingin menikah, maka mereka melangsungkan pernikahan di luar negeri.

Dari semua sumber yang aku baca, belum ada aku temukan seorang ateis yang dikenai sanksi atau dikenai pidana karena tidak memeluk agama yang diakui di Indonesia. Ada satu kasus yang selalu muncul di setiap artikel yang membahas ateis di Indonesia yaitu kasus seorang PNS bernama Alexander Aan yang dikenai pidana 2,5 tahun penjara akibat postingannya di Facebook. Dalam postingan itu dia sangat ekspresif dan menebar ungkapan kebencian. Dalam hal ini, Alexander Aan dikenai pidana penjara bukan karena ia ateis, melainkan terjerat UU ITE.

Selain media berita, aku juga sempetin buat baca kisah penganut ateisme di Indonesia. Sebagian kisah yang aku baca mereka terlahir dari keluarga yang beragama, namun setelah mereka dewasa mereka sadar akan suatu paham dan memilih jalan untuk lebih rasional dalam memandang sagala yang ada di dunia ini. Dan, tidak sedikit dari mereka merupakan golongan kaum intelek.

Sekian kisah yang kubaca, bisa kusimpulkan beberapa faktor mengapa sseeorang yang terlahir dari keluarga yang beragama memilih untuk menjadi ateis. Pengetahuan dan teknolgi merupakan faktor dominan dalam hal ini. Jika seseorang sangat patuh akan ilmu pengetahuan, hal itu akan mempengaruhi cara pikir seseorang untuk lebih rasional dan mengandalkan logika dalam menanggapi sagala sesuatu yang ada di dunia ini, berbanding terbalik dengan paham irrasional yang telah diajarkan dalam agama selama ini bahwa segala sesuatu pasti ada campur tangan Tuhan didalamnya. Begitupula dengan perkembangan teknologi yang sekian pesat dapat dengan mudah memberikan paham pada seseorang.

Semoga apa yang aku tulis ini dapat diambil hikmah dan berdampak positif. Jika ada kesalahan maupun khilaf mohon koreksinya agar saya dapat lebih bijak dalam menulis. Terimakasih...

Sembako Kena PPN, Langkah Alternatif Pemerintah Membentuk Masyarakat yang Kuat

Assalamualaikum Wr. Wb. Hai Semua... Kali ini coba kita memikirkan beberapa hal yang baru-baru ini akan dan sudah marak dibahas, yakni w aca...